Partai Aceh memiliki bargaining politik yang makin diperhitungkan Jakarta. Bukti paling nyata adalah keberhasilan PA—melalului kadernya di DPRA—mempengaruhi DPR-RI dan Pemerintah Pusat agar ‘memaksa’ KPU membuka kembali pendaftaran calon peserta Pemilukada Aceh 2012.
Sejauh ini, Jakarta telah menyiapkan dua opsi untuk mengakomodir keinginan PA mendaftarkan calonnya sebagai peserta pada pemilihan kepala daerah di Aceh. Opsi pertama, Mendagri menggugat KPU ke MK agar membuka lagi pendaftaran calon. Bila gugatan itu tidak dikabulkan, maka Presiden ‘ditekan’ hingga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pemilukada.
Meski upaya ini untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada partai lokal, partai nasional, gabungan parpol, dan calon independen maju di Pemilukada Aceh, namun kita melihat sikap Jakarta tersebut lebih kepada upaya menyelamatkan calon dari Partai Aceh yang sudah dua kali ‘ketinggalan kereta’ ketika kran pendaftaran dibuka KIP Aceh sebelumnya.
Alasan Jakarta mengusung opsi pembukaan pendaftaran calon itu juga kita nilai realistis. Pertimbangan utama tentu untuk meredam situasi Aceh yang sempat memanas belakangan ini. Selain itu, regulasi yang dijalankan KIP Aceh selama ini juga terkesan terlalu dipaksakan, di samping independensi KIP sendiri diragukan banyak pihak di Aceh.
Terlepas dari itu, bagaimanapun PA memiliki power dan historis yang lebih dibandingkan kekuatan politik lain di Aceh. Sebagai partai lokal yang mengasai kursi parlemen di Aceh, tentu Jakarta lebih memperhitungkan manuver politik PA ketimbang manuver partai lainnya. Dan, tentu saja nilai tawar tokoh PA jauh lebih diperhitungkan ketimbang nilai tawar tokoh Aceh lainnya, termasuk Irwandi Yusuf.
Dengan kekuatan politik yang dimilikinya, kita juga berharap tokoh-tokoh PA tidak hanya memperjuangkan kepentingannya dalam suksesi kepemimpinan di Aceh. Tapi juga dapat memperjuangkan hak-hak Aceh secara keseluruhan yang selama ini masih dikebiri Jakarta.
Dalam MoU Helsinki jelas disebutkan, Jakarta kini hanya punya kewenangan mencampuri urusan Aceh di bidang pertahanan eksternal, fiskal dan moneter, hubungan internasional, keamanan nasional, bidang hukum dan urusan agama saja. Namun, kenyataannya hingga sekarang Jakarta masih mengatur berbagai hal lain di Aceh, seperti bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perdagangan hingga soal penanaman modal.
Ini pula yang perlu diperjuangkan oleh kekuatan politik lokal di Aceh. Jangan biarkan Jakarta selamanya menjadi tempat mengatur proyek bagi daerah, tempat membagi-bagikan fee atas proyek itu, tempat orang daerah harus memberi hormat, memberi sangu hingga menyembah-nyembah agar dana hak daerah segera turun. Bila ini bisa diperjuangkan, keberadaan tokoh PA baru berharga bagi Aceh secara keseluruhan. Dan, tentunya eksistensi mereka juga makin disegani oleh lawan-lawan politiknya.
Sejauh ini, Jakarta telah menyiapkan dua opsi untuk mengakomodir keinginan PA mendaftarkan calonnya sebagai peserta pada pemilihan kepala daerah di Aceh. Opsi pertama, Mendagri menggugat KPU ke MK agar membuka lagi pendaftaran calon. Bila gugatan itu tidak dikabulkan, maka Presiden ‘ditekan’ hingga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pemilukada.
Meski upaya ini untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada partai lokal, partai nasional, gabungan parpol, dan calon independen maju di Pemilukada Aceh, namun kita melihat sikap Jakarta tersebut lebih kepada upaya menyelamatkan calon dari Partai Aceh yang sudah dua kali ‘ketinggalan kereta’ ketika kran pendaftaran dibuka KIP Aceh sebelumnya.
Alasan Jakarta mengusung opsi pembukaan pendaftaran calon itu juga kita nilai realistis. Pertimbangan utama tentu untuk meredam situasi Aceh yang sempat memanas belakangan ini. Selain itu, regulasi yang dijalankan KIP Aceh selama ini juga terkesan terlalu dipaksakan, di samping independensi KIP sendiri diragukan banyak pihak di Aceh.
Terlepas dari itu, bagaimanapun PA memiliki power dan historis yang lebih dibandingkan kekuatan politik lain di Aceh. Sebagai partai lokal yang mengasai kursi parlemen di Aceh, tentu Jakarta lebih memperhitungkan manuver politik PA ketimbang manuver partai lainnya. Dan, tentu saja nilai tawar tokoh PA jauh lebih diperhitungkan ketimbang nilai tawar tokoh Aceh lainnya, termasuk Irwandi Yusuf.
Dengan kekuatan politik yang dimilikinya, kita juga berharap tokoh-tokoh PA tidak hanya memperjuangkan kepentingannya dalam suksesi kepemimpinan di Aceh. Tapi juga dapat memperjuangkan hak-hak Aceh secara keseluruhan yang selama ini masih dikebiri Jakarta.
Dalam MoU Helsinki jelas disebutkan, Jakarta kini hanya punya kewenangan mencampuri urusan Aceh di bidang pertahanan eksternal, fiskal dan moneter, hubungan internasional, keamanan nasional, bidang hukum dan urusan agama saja. Namun, kenyataannya hingga sekarang Jakarta masih mengatur berbagai hal lain di Aceh, seperti bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perdagangan hingga soal penanaman modal.
Ini pula yang perlu diperjuangkan oleh kekuatan politik lokal di Aceh. Jangan biarkan Jakarta selamanya menjadi tempat mengatur proyek bagi daerah, tempat membagi-bagikan fee atas proyek itu, tempat orang daerah harus memberi hormat, memberi sangu hingga menyembah-nyembah agar dana hak daerah segera turun. Bila ini bisa diperjuangkan, keberadaan tokoh PA baru berharga bagi Aceh secara keseluruhan. Dan, tentunya eksistensi mereka juga makin disegani oleh lawan-lawan politiknya.
http://blog.harian-aceh.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar