JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pakar Pembela Kesatuan Tanah Air (PEKAT) Cut Justisia mengatakan, Perjanjian Helsinki yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan sebuah bentuk kemerdekaan secara de facto yang diberikan kepada Aceh. Pemerintah diharapkan mampu memahami isi dari perjanjian tersebut. Jika tidak, hal ini dikhawatirkan akan menelurkan gerakan-gerakan separatis lain yang justru akan memecah-belah kesatuan negara.
"Di dalam isi perjanjian itu Aceh bisa membuat partai sendiri, mata uang, bahkan bisa melakukan perdagangan internasional sendiri. Itu artinya Aceh sudah berdaulat secara de facto," kata Justisia di Jakarta, Sabtu (6/4/2013).
Justiani mengatakan, meski saat ini Aceh masih belum membuat mata uangnya sendiri, akan tetapi pergerakan menuju kemerdekaan Aceh sudah mulai ditunjukkan. Hal itu diperlihatkan dengan adanya pengibaran bendera di sejumlah wilayah di Aceh.
"Bendera dan mata uang sebenarnya adalah hal yang sama. Itu adalah simbol suatu negara. Seharusnya pemerintah itu sadar karena apa yang terjadi di Aceh juga bisa terjadi di wilayah lain," katanya.
Anggota Dewan Pakar PEKAT lainnya, Mayor Jendral TNI (Purn) Saurip Kadi mengatakan, secara politik, Aceh merupakan sebuah wilayah yang merdeka. Hal itu terlihat dari isi Perjanjian Helsinki yang telah diakui secara internasional.
"Bedanya, Aceh tidak perlu mendirikan kedutaan besar di setiap negara. Karena pasti akan memerlukan biaya yang tidak sedikit," katanya.
Untungnya, Saurip mengatakan, saat ini Aceh belum melaksanakan seluruh isi perjanjian Helsinki. Karena jika Aceh telah melaksanakan seluruh isi perjanjian tersebut maka tidak menutup kemungkinan akan muncul "Aceh" baru di sejumlah wilayah negara ini.
Sementara itu, Sekretaris Jendral PEKAT Bob Hasan beranggapan, pembentukan bendera Aceh telah melanggar konstitusi negara. "Apalagi mereka menaikkan bendera itu diiringi dengan kumandang adzan, itu merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap konstitusi," katanya.
Hasan menilai, pengibaran bendera yang lalu sarat dengan adanya intervensi pihak asing. Namun, saat ditanya intervensi dari negara manakah, dirinya enggan membeberkannya.
"Ada intervensi intelejen asing di Aceh. Jadi pergerakan Aceh itu bukan karena pergerakan rakyat. Asing memiliki kepentingan untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang ada di Aceh," katanya.
Editor :
Hindra
"Di dalam isi perjanjian itu Aceh bisa membuat partai sendiri, mata uang, bahkan bisa melakukan perdagangan internasional sendiri. Itu artinya Aceh sudah berdaulat secara de facto," kata Justisia di Jakarta, Sabtu (6/4/2013).
Justiani mengatakan, meski saat ini Aceh masih belum membuat mata uangnya sendiri, akan tetapi pergerakan menuju kemerdekaan Aceh sudah mulai ditunjukkan. Hal itu diperlihatkan dengan adanya pengibaran bendera di sejumlah wilayah di Aceh.
"Bendera dan mata uang sebenarnya adalah hal yang sama. Itu adalah simbol suatu negara. Seharusnya pemerintah itu sadar karena apa yang terjadi di Aceh juga bisa terjadi di wilayah lain," katanya.
Anggota Dewan Pakar PEKAT lainnya, Mayor Jendral TNI (Purn) Saurip Kadi mengatakan, secara politik, Aceh merupakan sebuah wilayah yang merdeka. Hal itu terlihat dari isi Perjanjian Helsinki yang telah diakui secara internasional.
"Bedanya, Aceh tidak perlu mendirikan kedutaan besar di setiap negara. Karena pasti akan memerlukan biaya yang tidak sedikit," katanya.
Untungnya, Saurip mengatakan, saat ini Aceh belum melaksanakan seluruh isi perjanjian Helsinki. Karena jika Aceh telah melaksanakan seluruh isi perjanjian tersebut maka tidak menutup kemungkinan akan muncul "Aceh" baru di sejumlah wilayah negara ini.
Sementara itu, Sekretaris Jendral PEKAT Bob Hasan beranggapan, pembentukan bendera Aceh telah melanggar konstitusi negara. "Apalagi mereka menaikkan bendera itu diiringi dengan kumandang adzan, itu merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap konstitusi," katanya.
Hasan menilai, pengibaran bendera yang lalu sarat dengan adanya intervensi pihak asing. Namun, saat ditanya intervensi dari negara manakah, dirinya enggan membeberkannya.
"Ada intervensi intelejen asing di Aceh. Jadi pergerakan Aceh itu bukan karena pergerakan rakyat. Asing memiliki kepentingan untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang ada di Aceh," katanya.
Editor :
Hindra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar