Kamis, 26 April 2012

Definisi Riya’ Dan Penjelasannya

Tanbihun – Secara bahasa, Riya’ adalah memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia, adapun secara istilah yaitu: melakukan ibadah dengan niat dalam hati karena demi manusia, dunia yang dikehendaki dan tidak berniat beribadah kepada Allah SWT[1].
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan itu”. Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Sementara Imam Habib Abdullah Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau meminta dihormati daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan bukan karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan padanya[2]. Sebagaimana ulama mengatakan[3]:

وَالرِّيَاءُ إِيْقَاعُ الْقُرْبَةِ لِقَصْدِ النَّاسِ

Riya’ adalah melakukan ibadah karena mengharap arah kepada manusia supaya mendapat keuntungan darinya (pujian dan penghormatan)”.
Oleh itu, Syeikh Ahmad Rifa’i berpesan bahwa riya’ merupakan perbuatan haram dan satu diantara dosa besar yang harus dijauhi serta di tinggalkan supaya selamat dan amalnya manfaat sampai di negeri akhirat.

Macam-macam Riya’

Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa riya’ ada 2 macam, sebagaimana ulama menguraikannya[4]:

وَهُوَ قِسْمَانِ : رِيَاءٌ خَالِصٌ كَانَ لاَ يَفْعَلَ الْقُرْبَةَ إِلاَّ لِلنَّاسِ ,

 وَرِيَاءٌ شِرْكٌ كَانَ يَفْعَلَهَا ِللهِ وَلِلنَّاسِ وَهُوَ أَخَفُّ مِنَ الْأَوَّلِ

riya’ dibagi kedalam dua tingkatan: riya’ kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia, riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah Allah, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia, dan keduanya bercampur”.
Fudhail Bin Iyadh berkata:“Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya”.
Oleh itu, sifat riya’ sekiranya sudah menjalar masuk ke dalam aktivitas harian dan mendarah daging dalam tubuh kita amat susah untuk menghilangkannya, karena mereka menganggap sifat riya’ merupakan satu sikap berbuat baik kepada orang lain, dengan dalih bahwa apa yang mereka kerjakan dalam pandangannya adalah perbuatan yang terpuji,  hal ini sesuai dengan isyarat Qur’an dalam surah Al-baqarah ayat  11-12:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ

 أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka:“Janganlah kamu membuat bencana dan kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: ”Sesungguhnya kami orang-orang yang hanya membuat kebaikan”. Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang sebenar-benarnya membuat bencana dan kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya.
Diantara kelembutan riya’ adalah menjadikan ikhlas sebagai wasilah untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dihikayatkan dari Abu Hamid Al-Ghazali bahwasanya telah sampai kepadanya kabar, barangsiapa yang ikhlas kepada Alloh selama 40 hari, niscaya akan terpancar hikmah dari hatinya melalui lisannya. Ia berkata: “Aku telah berbuat ikhlas selama 40 hari, namun tidak juga terpancar hikmah sedikitpun”. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada orang-orang yang arif, mereka mengatakan kepadaku: Karena kamu berbuat ikhlas untuk mendapatkan hikmah, bukan ikhlas karena Allah!”[5]. Yang demikian itu dikarenakan tujuan manusia berbuat ikhlas untuk mendapatkan kelembutan dan hikmah, atau untuk mendapatkan pengagungan dan pujian manusia.
Maka hal ini sesuai dengan perkataan ulama ahli sufi, bahwa kita kadang tidak bisa membedakan antara riya’ jali (terang) dan khafi (samar), kecuali orang-orang yang benar-benar selalu mensucikan dalam hatinya hanyalah beribadah kepada Allah semata. Karena dengan kedekatan pada-Nya, dalam hatinya sudah dibersihkan daripada penyakit-penyakit yang buruk (madzmumah)[6]:

وَلَا يَسْلِمُ مِنَ الرِّيَاءِ الْجَلِيِّ وَالْخَفِيِّ إِلَّا الْعَارِفُوْنَ الْمُوَحِّدُوْنَ لِأَنَّ اللهَ طَهَّرَهُمْ مِّنْ دَقَائِقِ الشِّرْكِ

Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 110:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ  

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu yang diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa, Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
Ayat diatas menerangkan kepada kita, sekiranya beramal tapi masih mengharapkan pujian daripada selain Allah, maka sifat riya’ sudah masuk dalam diri kita, dan itu sangat berbahaya karena kita beramal untuk menuai hasilnya nanti di akhirat.
Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syuura ayat 20:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ

وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.
Apapun jenis ibadah yang kita lakukan, hendaklah dengan satu tujuan menghadap kepada sang Ilaah, seperti sholat yang kita kerjakan setiap hari lakukanlah hanya untuk Allah, baik ketika sholat sendiri atau pun ada orang di sekitarnya, beribadahlah hanya untuk Allah yang Maha Mulia. Allah berfirman dalam surat al-Maa’uun ayat 4-7:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ , الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ , وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
Al Qurthubi mengatakan makna dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang (dengan sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat dengan penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq melihat bahwa sholatnya sebagai suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang yang (melakukan) sholat. Hakikat riya’adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan (memperlihatkan) ibadahnya. Pada asalnya riya adalah menginginkan kedudukan di hati manusia.[7]
Ini termasuk syirik yang tersembunyi. Nabi SAW bersabda :“Wahai sekalian manusia, jauhilah kesyirikan yang tersembunyi!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu syirik yang tersembunyi?” Beliau menjawab, “Seseorang bangkit melakukan sholat kemudian dia bersungguh-sungguh memperindah sholatnya karena dilihat manusia.
Itulah yang disebut dengan syirik yang tersembunyi.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi][8].
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa orang yang berpuasa hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’, siapa orang yang sholat hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’, dan barangsiapa yang bersedekah hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’.(HR. Ahmad).
Riya’ bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai dilakukan. Imam Ghazali mengatakan bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya kepada orang lain, maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang dilakukan tersebut telah selesai, dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah selesai serta tidaklah ia menjadi rusak dengan sesuatu yang terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk memperlihatkannya atau membicarakannya. Namun, apabila orang itu membicarakannya setelah amal itu dilakukan dan memperlihatkannya maka hal ini ‘berbahaya’[9].
Imam al-Ghazali menerangkan bahwa sesiapa yang tidak membuang sifat riya’ ini, niscaya akan ditimpa kecelakaan serta akan tergolong dalam golongan kufur. Jika hal ini berlaku, maka tentulah dia tidak lagi layak memasuki syurga, apatah lagi mencium baunya. Rasulullah SAW menasihatkan umatnya agar tidak sesekali menyebut kebaikan diri dan keluarga karena sikap demikian akan mendorong seseorang kepada sifat riya’. Justeru, keikhlasan saja yang dapat membunuh perasaan riya’ sebagaimana firman Allah[10]:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”.
Dalam ayat yang lain[11]:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ , أَلَا للهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah agama yang bersih (dari syirik).”
Ibnu Qudamah mengatakan,”Apabila sifat riya’ muncul sebelum selesai suatu ibadah dikerjakan, seperti sholat yang dilakukan dengan ikhlas dan apabila hanya sebatas kegembiraan maka hal itu tidaklah berpengaruh terhadap amal tersebut namun apabila sifat riya’ sebagai faktor pendorong amal itu seperti seorang yang memanjangkan sholat agar kualitasnya dilihat oleh orang lain maka hal ini dapat menghapuskan pahala.
Adapun apabila riya’ menyertai suatu ibadah, seperti seorang yang memulai sholatnya dengan tujuan riya’ dan hal itu terjadi hingga selesai sholatnya maka sholatnya tidaklah dianggap. Dan apabila ia menyesali perbuatannya yang terjadi didalam sholatnya itu maka seyogyanya dia memulainya lagi[12].
Dalam surah al-baqarah ayat 264 Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ

“Wahai orang-orang yang beriman, Jangan rusakkan (pahala amal) sedekah kamu dengan perkataan membangkit-bangkit dan (kelakuan yang) menyakiti, seperti (rusaknya pahala amal sedekah) orang yang membelanjakan hartanya karena hendak menunjuk-nunjuk kepada manusia (riya’)…”.
Secara mudah kita simpulkan bahwa riya’ adalah perbuatan yang semata-mata untuk mengharapkan sanjungan, pujian atau penghormatan daripada orang lain. Hal ini amat bertentangan dengan kehendak Islam yang senantiasa menyeru umatnya agar beramal atau melakukan perkara kebaikan dengan hati penuh keikhlasan dan mengharapkan keridhaan Allah. Sekiranya penyakit ini dibiarkan terus bersarang dalam hati seseorang, lama kelamaan ia boleh membinasakan orang yang mengamalkannya. Kemurnian akidah, keluhuran akhlak dan kesempurnaan amal umat Islam akan tercemar dan rusak jika tidak dilandasi keimanan dan keikhlasan hati serta mengharapkan keridhaan Allah. Justru, dalam Islam setiap amal kebajikan yang disertai dengan riya’ adalah tergolong dalam perbuatan syirik kecil yang boleh merusakkan amal kebajikan, melunturkan kemurnian akhlak dan akan mendapat kerugian hidup di dunia dan akhirat.
Memang ada di kalangan umat Islam yang melakukan sesuatu amalan kebajikan atau mengerjakan ibadah hanya untuk mengaburi mata orang banyak, Mereka melakukan amalan kebajikan atau ibadah untuk menunjukkan yang kononnya mereka baik, pemurah, wara’ atau rajin beribadah. Mereka lakukan karena didorong hawa nafsu yang selalu berusaha memalingkan mereka yang lemah imannya. Hal ini diperingatkan Allah dalam firman-Nya[13]:

وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“Dan janganlah kamu turuti hawa nafsu, nanti ia menyesatkan kamu daripada (agama) Allah”.
Dalam surah Muhammad ayat 16, Allah berfirman:

أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ

 “Mereka itu telah dicap (ditutup) Allah mata hatinya dan mereka mengikut hawa nafsunya”.
Adalah sangat jelas umat Islam yang melakukan perbuatan riya’ akan mendapat balasan buruk dari Allah. Sementara Rasul sendiri selalu mengingatkan umatnya supaya menjauhi diri daripada perbuatan riya’ dalam beberapa hadisnya. Seperti: Rasul SAW bersabda: Awaslah kamu jangan mencampuradukkan antara taat pada Allah dengan keinginan dipuji orang (riya’), niscaya gugur amalanmu. (HR. Ad-Dailami).
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadapmu ialah syirik kecil, lalu ditanya oleh sahabat, apakah syirik kecil itu ya Rasulullah? Kemudian baginda bersabda: itulah riya’. (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Untuk menjauhkan diri atau membersihkan hati daripada perbuatan riya’, umat Islam hendaklah mengamalkan sifat muraqabah. Muraqabah dapat memperlihatkan dan menghayati kepentingan dan hak Allah dengan memperhitungkan diri sendiri, berapa banyak kebaikan dan dosa yang telah dilakukan sebagai perbandingan supaya terus berhati-hati dalam setiap perbuatan dan apa jua tindakan yang akan dilakukan.
Bertaubat adalah jalan terbaik bagi mereka yang melakukan dosa atau yang terlanjur perbuatannya. Taubat dan istighfar amat dituntut ke atas setiap orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 135:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ

 وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera ingat kepada Allah lalu memohon ampunan atas dosa mereka. Dan tiada siapa yang mengampuni dosa melainkan Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya sedang mereka mengetahui”.
Dalam surah lain Allah berfirman[14]:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

”Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang banyak bertaubat dan mengasihi orang-orang yang senantiasa mensucikan diri”.
Wallahu A’lam…
Ibnu Dahlan El-Madary
Seri Kembangan, Sg.Besi, Selangor, Malaysia
18 Ramadhan 1432H/18 Agustus 2011:)04:00AM

[1] Syeikh Ahmad Rifa’I, Riayah Akhir, Bab Ilmu Tasawuf, Korasan 22, halaman 3, baris 6-8, bisa juga dilihat dalam karangan beliau lainnya dalam kitab Abyan al-Hawaaij, Juz V, korasan 69
[2] Shodiq Abdullah, Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan tradisi, RaSAIL: Semarang, Desember 2006, halaman 137
[3] Ibid, baris 11
[4] Ibid, Halaman 4, baris 2-3
[5] Lihat dalam “Darut Ta’arudl Al-Aql wan Naql” Karya Ibnu Taimiyyah (6/66), “Minhajul Qasidin” halaman: 214-221, “Al-Ikhlas” karya Al-Awaiysyah halaman:24, “Al-Ikhlas wa Asy-Syirik” Karya Dr. Abdul Aziz bin Abdul Lathif halaman: 9, dan “Ar-Riya” karya Salim Al-Hilali halaman:17.
[6] Syeikh Ahmad Rifa’I, Riayah Akhir, Korasan 22, Halaman 9, baris 2-3
[7] Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an Juz XX halaman: 439
[8] Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudry, Imam Baihaqi sama-sama meriwatkan dengan Ibnu Majah mengenai syirik yang tersembunyi ini.
[9] Al-Ghazali, Ihya Ulumudin Juz III halaman: 324
[10] Surat Al-Bayyinah ayat :5
[11] Surat Az-Zumar ayat 2-3
[12] Mukhtashar Minhajil Qishidin halaman: 209
[13] Surat Shaad ayat 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar